Melanjutkan kekecewaan akhir
pekan di festival layang-layang Glagah sebelumnya, kami mempersiapkan bekal
untuk minggu terakhir liburan kami. Memanfaatkan hari libur terbiasa aku
dan kak sahar lakukan walaupun hanya mencicipi makanan khas dan uni atau yang
belum pernah kami coba. Nah akhir minggu ini adalah hari terakhir diadakanya
festival layang-layang di Galagah.
Jarak pantai glagah
dari pusat kota jogja yang lumayan jauh, kami putuskan untuk berangkat lebih
siang. Perjalanan ini berbeda dari yang sebelumnya, baim salah satu teman kak
sahar yang berlibur ke jogja ingin ikut bersama kami menikmati keindahan pantai
glagah dan festival layang-layang. Hamper 2 jam kami menunggu, baim tapi tak
kunjung datang, akhirnya dengan berbagai percakapan antara baim dan kak sahar
kami putuskan untuk berangkat duluan dan baim menyusul dengan motor hitamnya.
Sesampainya kami di
glagah ternyata festival sudah selesai, hanya beberapa layangan yang di terbangkan.
Bermacam layang-layang sebenarnya kita bisa temui disini. Karena kedatangan
kami yang terlambat apa boleh buat, kami hanya menikmati beberapa layang-layang
yang melenggak lenggok bagai penari jaipong.
Beberapa menit kami
sampai, baim pun datang dan langsung narsis dengan kamera handphonenya. Tidak lupa
juga dia langsung update di beberapa acount jejaring social yang dia miliki. Lucu
memeng tingkah anak ini, sikap dan tingkah lakjunya mencairkan suasana dan menambah
senyum bahkan tertawa buat aku dan kak sahar.
Walaupun sudah agak
sore tetapi masih ada beberapa layangan yang diterbangkan oleh pemiliknya
sebagai bentuk hobi dan pengenalan layang-layang yang dia miliki. Dari beberapa
layang-layang yang tersisa, ada sebuah layang-layang yang menarik langkahku
untuk mengetahui dan mengabadikan sosok kokohnya yang terlihat rapuh itu. Saya lupa
apa namaya, yang pasti layangan ini berasal dari Sulawesi Tenggara dan merupakan
layang-layang tradisional yang dulu sempat popular. Layangan ini terbuat dari
daun kering yang di jahit untuk menggabungkannya. Benang untuk
menerbangkannyapun terbuat dari pintalan serat batang pohon yang sudah di
keringkan.
Selain kami, ada
seorang bapak yang tertarik akan layang-layang unik ini. Untungnya si pemilik layang-layang
tidak pelit memberikan informasi bahkan dia bersedia menerbangkan layang-layangnya.
Sangat menakjubkan, layang-layang yang terlihat rapuh itu bisa terbang dan
sejajar dengan layangan lainnya. Menikmati keindahan dan suara yang dikeluarkan
dari pita yang di pasang di layang-layang menjadi daya tarik sendiri bagi kami
yang sudah termakan arus modernisasi. Maksud saya tentang modernisasi disini
adalah, sebagain diantara kita tentu hanya mengetahui bahan pembuat layang-layang
dari bamboo, kertas, kain, dan parasut. Tetapi dengan adanya festival ini kami
dapat mengetahui bahwa layang-layang sudah ada sebelum manusia mengenal kertas
dan parasut.
Setelah puas mengambil
photo dan menikmati layang-layang, kami melanjutkan untuk menjelajahi tepi
pantai Glagah yang berpasir hitam. Walaupun hanya turis local yang kelihatan, ini
membuktikan bahwa masih banyak tempat-tempat indah yang belum diketahui orang. Kami
berjalan disepanjang pesisir pantai sambil mencari engel yang bagus untuk
mengambil gambar. Sebagai penikmat keindahan alam, saya tidak pernah bosan
untuk mengabadikan si merah bundar yang akan tenggelam.
Beberapa catatan
penting:
- Apabila sudah merencanakan suatu perjalanan, jangan biasakan menunda keberangkatan.
- Kalau mau menonton festival layang-layang datanglah dari pagi.
- Ingat, masih banyak keindahan alam yang tersembunyi dan patut kita banggakan dari bumi nusantara ini.
Layang-layang yang tersisa
Baim dengan kenarsisanya
Layang-layang khas Sulawesi Tenggara yang terbuat dari daun kering
Hasil jepretan Baim
Sahar shoot
It's me
Si merah yang sembunyi
Sandaljpit
Baim narsis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar