Minggu, 20 Oktober 2013

Festival Layang-layang Glagah Part II


Melanjutkan kekecewaan akhir pekan di festival layang-layang Glagah sebelumnya, kami mempersiapkan bekal untuk minggu terakhir liburan kami. Memanfaatkan hari libur terbiasa aku dan kak sahar lakukan walaupun hanya mencicipi makanan khas dan uni atau yang belum pernah kami coba. Nah akhir minggu ini adalah hari terakhir diadakanya festival layang-layang di Galagah.
Jarak pantai glagah dari pusat kota jogja yang lumayan jauh, kami putuskan untuk berangkat lebih siang. Perjalanan ini berbeda dari yang sebelumnya, baim salah satu teman kak sahar yang berlibur ke jogja ingin ikut bersama kami menikmati keindahan pantai glagah dan festival layang-layang. Hamper 2 jam kami menunggu, baim tapi tak kunjung datang, akhirnya dengan berbagai percakapan antara baim dan kak sahar kami putuskan untuk berangkat duluan dan baim menyusul dengan motor hitamnya.
Sesampainya kami di glagah ternyata festival sudah selesai, hanya beberapa layangan yang di terbangkan. Bermacam layang-layang sebenarnya kita bisa temui disini. Karena kedatangan kami yang terlambat apa boleh buat, kami hanya menikmati beberapa layang-layang yang melenggak lenggok bagai penari jaipong.
Beberapa menit kami sampai, baim pun datang dan langsung narsis dengan kamera handphonenya. Tidak lupa juga dia langsung update di beberapa acount jejaring social yang dia miliki. Lucu memeng tingkah anak ini, sikap dan tingkah lakjunya mencairkan suasana dan menambah senyum bahkan tertawa buat aku dan kak sahar.
Walaupun sudah agak sore tetapi masih ada beberapa layangan yang diterbangkan oleh pemiliknya sebagai bentuk hobi dan pengenalan layang-layang yang dia miliki. Dari beberapa layang-layang yang tersisa, ada sebuah layang-layang yang menarik langkahku untuk mengetahui dan mengabadikan sosok kokohnya yang terlihat rapuh itu. Saya lupa apa namaya, yang pasti layangan ini berasal dari Sulawesi Tenggara dan merupakan layang-layang tradisional yang dulu sempat popular. Layangan ini terbuat dari daun kering yang di jahit untuk menggabungkannya. Benang untuk menerbangkannyapun terbuat dari pintalan serat batang pohon yang sudah di keringkan.

Selain kami, ada seorang bapak yang tertarik akan layang-layang unik ini. Untungnya si pemilik layang-layang tidak pelit memberikan informasi bahkan dia bersedia menerbangkan layang-layangnya. Sangat menakjubkan, layang-layang yang terlihat rapuh itu bisa terbang dan sejajar dengan layangan lainnya. Menikmati keindahan dan suara yang dikeluarkan dari pita yang di pasang di layang-layang menjadi daya tarik sendiri bagi kami yang sudah termakan arus modernisasi. Maksud saya tentang modernisasi disini adalah, sebagain diantara kita tentu hanya mengetahui bahan pembuat layang-layang dari bamboo, kertas, kain, dan parasut. Tetapi dengan adanya festival ini kami dapat mengetahui bahwa layang-layang sudah ada sebelum manusia mengenal kertas dan parasut.
Setelah puas mengambil photo dan menikmati layang-layang, kami melanjutkan untuk menjelajahi tepi pantai Glagah yang berpasir hitam. Walaupun hanya turis local yang kelihatan, ini membuktikan bahwa masih banyak tempat-tempat indah yang belum diketahui orang. Kami berjalan disepanjang pesisir pantai sambil mencari engel yang bagus untuk mengambil gambar. Sebagai penikmat keindahan alam, saya tidak pernah bosan untuk mengabadikan si merah bundar yang akan tenggelam.

Beberapa catatan penting:

  • Apabila sudah merencanakan suatu perjalanan, jangan biasakan menunda keberangkatan.
  • Kalau mau menonton festival layang-layang datanglah dari pagi.
  • Ingat, masih banyak keindahan alam yang tersembunyi dan patut kita banggakan dari bumi nusantara ini.
 
 
 
 
Layang-layang yang tersisa
 
Baim dengan kenarsisanya
 
Layang-layang khas Sulawesi Tenggara yang terbuat dari daun kering
 
Hasil jepretan Baim
 
Sahar shoot
 
It's me
 
Si merah yang sembunyi
 
Sandaljpit
 
Baim narsis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar